STORY: Art Of Doing Nothing


Art of Doing Nothing

13. 13. 13.

Bagi segelintir orang, mungkin hanya angka belaka yang terkadang dihubungkan menjadi sebuah angka sial. Namun tidak bagi kami, siswa pelajar tahun ini. Selebrasi dan kongratulasi terhadap hal-hal yang telah ditempuh & diperjuangkan pada bulan puasa tahun ini, menjadi hal pokok. Memang, beberapa guru memberikan “trik jitu” penggunaan “pekerjaan”, membuat siswa-siswa terbelenggu dalam tugas hari raya, bukan tunjangan hari raya, namun tetap saja kata “libur” bagi saya adalah hal yang membahagiakan.

“Hahaha. Liburan. Baru libur semester, tambah lagi libur gini,” ucap saya kepada teman saya. Memang benar, 3 minggu sebelumnya kami telah melewati liburan semester, dan karena bulan puasa diadakan Agustus, kami kembali  menikmati tidur pagi dan bangun siang, mengobati kerinduan selama 3 minggu lamanya. Liburan 2 minggu, bingung saya melakukan apa. Apakah belajar menyusul ketertinggalan? Atau melakukan art of doing nothing, seperti dalam penggalan? Hmm. Sepertinya saya akan melakukan yang kedua.

“Liburan ya liburan, jangan belajar, besok ga ada libur panjang lagi loh hahaha,” Lantur seorang teman dari chat di blackberry. Sampai jumpa belajar, halo gabut!

14.18.
1 minggu liburan tidak berasa dilewati. Seni tidak melakukan apa-apa ini ternyata memakan waktu juga. Tidak berasa, roda waktu berputar, tanpa menghasilkan suatu yang bermanfaat & produktif. Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, hingga Sabtu. Tidak ada yang sangat
berarti bagi saya, kecuali menambah ibadah tarawih di bulan 1001 yang makin menipis diiris tajamnya waktu.

Tada! Hari Minggu telah tiba. Hari yang ditunggu-tunggu bagi seluruh umat muslim di dunia, khususnya Indonesia; hari kemenangan bagi yang berpuasa. Ucapan kembali ke fitrah menjadi suatu yang lumrah. Ucapan mohon maaf lahir dan batin hanya formalitas bagi pengguna hp berbalut satin. Hanya etika sopansantun, melalui pesan ungu tanpa merasa bersalah ; tak apalah.

Ya, seperti lebaran tahun lalu, setelah melakukan sholat Ied di masjid dekat rumah, saya sekeluarga melakukan “tapak tilas” ke Jawa Barat, rumah eyang dari Ibunda. Keluarga dari kakak tertua yakni Bunda dan adik ketiga hingga saudara dari eyang kakung datang, mencari sedikit maaf dari kesalahan-kesalahan yang ada dan menjaga tali silaturahmi tentunya. Angpao dari “Bogor” memang selalu tidak terlalu banyak, mengharap dari keluarga Ayah, dompet bertambah beberapa inci saja.

40 kilometer ditempuh mobil CRV kami. Sebuah metamorfosa jalan raya ketika hari raya di Jakarta kian berubah. Lawang dan sepi, seandainya Jakarta seperti ini. Kembali ke Jakarta, langsung menuju rumah Eyangdut, sebutan saya dan kakak saya kepada ibunda dari Ayah kami. Saudaranya ada banyak, walau ada 1 yang belum keluarga dan ia merupakan satu-satunya tante dari keluarga besar kami. “Haha, gapapa lah, yang penting dapet banyak,” ucap kakak saya.

Astaga, tak disangka rumahnya sangat sunyi. Hanya anak dari bude yang telah berkeluarga yang baru datang dan tentu sang nyonya rumah. Syok sebentar, kemudian masuk ke rumah. Berharap ada yang datang, walau hanya beberapa menit. Well, ternyata tidak, yasudah lah ya, mungkin lebaran tahun ini dompet hanya segini-segini saja.

Pembelanjaan uang putus sudah dari tiangnya. Tersambung kembali, ketika Ayah dan Bunda memanggil kami menuju kamar. Ternyata, telah siap sudah 1 box sarung berisikan amplop, yang ternyata kami pegang dan hitung, cukup banyak. Sangat banyak bahkan. Horray, selebrasi.

Hari berganti, waktu bergulir. Minggu kedua liburan, kami mengurus berbagai macam perabotan rumah baru kami yang terletak di Cibulan, daerah Santa agar siap ditempati ketika masuk sekolah. Lampu gantung, taman hingga sofa telah dibeli dan disiapkan, kini tinggal tempat tidur yang merupakan pemeran utamanya. Terimakasih Tuhan, telah diberikan rumah yang seru dan menyenangkan.

Berbicara tentang persiapan, astaga! Bagaimana kabarnya tugas sekolah saya? Baru tersadar dari art of doing nothing, saya beranjak.

“Prnya ada apa? Isinya apa? Sekelompok sama siapa? Caranya bagaimana?” Bunyi ketikan saya ketika chatting.

Keteter! Sangat keteter. Karena tidak melakukan apa-apa minggu sebelumnya, saya belum mengerjakan pr sepeserpun. Panik menghantam dan meng-ansos menjadi pilihan saya. Butuh ketenangan, butuh konsentrasi dan butuh pembelajaran yang telah lupa dimakan “doing nothing” minggu lalu. Intinya, jangan pernah melakukan hal yang tidak penting dilakukan, apalagi jika waktu menjadi pacuan.

Hell no.

-Aqil Anindhityo Raharjo XI IPS 2012.

2 abstract critics:

zan P O P | 1 September 2012 pukul 23.57

kadang2 sesuatu yang ngga penting bisa menjadi penting juga lho..

Aqil Anindhityo Raharjo | 21 Februari 2013 pukul 06.49

@zanPOP haha iya juga yaa, big things start from small things...

Posting Komentar